Skip to main content

Sejuk Embun Takkan Habis

Embun laki-laki yang kukenal sekitar beberapa tahun lalu. Tepatnya saat aku masih belum lama menjadi mahasiswa di kampus tercintaku ini. Kami berkenalan di sebuah organisasi, di mana ia adalah senior dan aku adalah junior. Perkenalan kami sangat menyenangkan, karena sikap dia yang begitu ramah dan bersahabat. Lambat laun hubungan pertemanan kami pun semakin baik. Kami sering kali mengobrol melalui pesan singkat, telepon, atau melalui jejaring sosial yang sedang ramai digandrungi semua khalayak. Tidak hanya itu, Embun sering mengajakku jalan untuk sekadar melepas penat dari rutinitasnya menulis skripsi. Kami pergi makan, nonton film, atau melihat pameran buku juga lukisan.
Kedekatan kami saat aku masih dalam status single sangatlah dekat, bagai perangko yang dilekatkan pada sebuah amplop. Embun tidak pernah absen sms, hampir tiap malam dia menelepon, kalau bisa tiap hari kami bertemu untuk makan siang, kami pasti akan bertemu. Katanya, sebab aku adalah semangat baginya. Kami mungkin memang saling menyayangi, tapi kami masing-masing menyimpulkan sendiri perasaan apa yang kami miliki. Embun menganggap kami sepasang kekasih dan aku menganggap kami adalah kakak dan adik. Begitulah, hidup memang rumit dan penuh rahasia, tapi aku bersyukur kerumitan itu masih dapat aku nikmati.
Mungkin karena rahasia, maka Tuhan selalu menunjukkannya dengan cara tidak terduga. Aku dan Embun memiliki hobi yang sama, menyukai grup musik yang sama, dan juga menyukai klub sepak bola yang sama. Entah karena Embun ingin selalu menyeimbangiku atau memang itu sudah kode alam, itu membuatku merasa sangat ajaib. Aku selalu merasa pertemuanku dengannya memang sebuah keajaiban. Karena Embun juga memiliki sifat-sifat ajaib.
Suatu malam Embun meneleponku, “Malam ini ada Chelsea versus Manchester United. Kamu nonton kan?” lalu aku menjawab “Iya pasti dong, tidak mungkin aku kelewatan.” Setelah itu Embun mengakhiri teleponnya. Begitulah cara kami berkomunikasi. Sekadar bertukar kabar penting atau tidak penting sama sekali. Kami sama-sama menyukai klub sepak bola yang sama yaitu Chelsea. Selain itu kami juga mempunyai hobi yang sama yaitu jalan-jalan.
Kami terlalu banyak menjalani waktu bersama. Baik suka maupun duka. Beberapa tempat yang kami pernah singgahi dan kunjungi sudah terlalu banyak juga. Embun mengenalkan banyak tempat baru padaku dan aku sangat senang. Metropole, Botani Square, Ragusa, Gramedia book fair, dan masih banyak tempat yang kami pernah datangi sama-sama. Makanya aku selalu saja terkenang kalau-kalau aku sedang berada di salah satu tempat itu.
Sebenarnya apalagi yang kurang dari seorang Embun, aku pun tidak mengerti dengan jalan pikiranku. Dan mulai dari situlah semua terasa rumit. Embun selalu baik, perhatian, dan berusaha selalu mengerti aku. Dan memang benar, Embun adalah laki-laki pertama yang membuka mata dan pikiranku kalau masih ada laki-laki yang bisa mengerti perempuan dengan sangat baik.
Di dunia ini aku dan Embun hanyalah pemeran sekenario yang sudah dituliskan oleh Tuhan. Kami hanya bagian kecil dari drama dalam hidup ini. Aku nyaman bersamanya karena ia menyejukkan, ia selalu bisa mengerti dan selalu bisa menjawab semua pertanyaanku. Sesuai dengan namanya, ia sungguh seperti embun di dedaunan, basah, sejuk, segar. Bahkan akan selalu hadir di tiap napas di pagi, siang, sore, malam sampai pagi datang kembali.
Tapi semua itu berubah di suatu siang menjelang sore hari di bulan ketiga itu. Rasanya asing sekali. Aku bertamu ke kost Embun untuk mengambil beberapa buku dan kamus besar milikku.
“Hai…” sapa kami berdua di pintu gerbang kost. Lalu kemudian hening menyambari hati kami masing-masing. Setelah menerima kedatanganku lalu mempersilakan aku duduk, Embun pun menyibukkan diri dengan pura-pura menyapu halaman, menengok kolam ikan, lebih tidak jelasnya lagi saat ia menyapa pohon cabai milik ibu kost. Pertemuan kami hari itu adalah pertemuan kami kembali setelah sekian lama kami tidak bertemu. Kami berdua, khususnya aku, tidak menyangka akan seperti itu jadinya. Embun yang begitu ramai, begitu perhatian, dan satu hal lagi yang paling penting, ia yang begitu merindukanku tiba-tiba menjadi dingin, beku. Kami canggung. Memang semua berubah setelah aku memutuskan untuk tidak sendiri lagi. Semua berubah, bukan hanya Embun, tapi ada beberapa hal bahkan banyak hal yang berubah.
Untungnya saat itu aku diselamatkan oleh langit yang tiba-tiba berubah mendung. Segera saja aku jadikan alasan kuat untuk aku pamit pulang dari sana. Rasanya tidak baik aku lama-lama berada di sana, lebih tepatnya tidak sanggup. Karena keadaan perasaan kami yang sangat memprihatinkan.
Aku tidak ingin menduga-duga apa penyebab sikap Embun saat itu. Tapi aku juga tidak ingin terus berpura-pura pada diri sendiri kalau aku tidak tahu tentang perasaannya. Rasa itu sudah ada sejak dulu. Rasa yang tidak pernah ia buang sedikitpun walau aku sudah terlalu sering membuatnya kecewa.
Malam harinya kami bicara empat mata dari hati ke hati melalui layanan pesan singkat. Karena rasanya memang perlu sekali kami membicarakan hal ini. Akhirnya aku menyerah. Sudah tidak dapat lagi terus berpura-pura kalau aku tidak peduli pada perasaannya.
Aku tidak tahu kita dalam hubungan apa? Tapi yang aku rasa kita lebih dari sekadar teman biasa. Dan aku merasa kamu sangat nyaman bersamaku.
Date : 20-10-2010
Time : 23:32:27
Received : 08571960XXXX
Aku tertegun membaca pesan singkatnya. Rasanya aku melayang, berputar-putar, dan jantungku serasa lepas. Aku pun membalas pesan singkat itu dengan berjuta perasaan, dadaku sesak, mataku panas.
Maafin aku, Mbun. Maaf sekali. Aku memang sangat nyaman bersamamu. Tapi bersamanya aku menemukan bahagia. Aku sudah tidak lagi merasa resah. Hidupku tenang. Karena selama ini yang membuatku resah dan gelisah adalah dia, yang kini jadi kekasihku. Saat ada kesempatan bersamanya, maka aku tidak melewatinya begitu saja, Mbun. Bukan berarti aku tidak bahagia bersamamu, tapi aku berusaha jujur dan tidak membohongi siapa pun. Tidak membohongi dia, kamu, terlebih lagi diriku sendiri. Terima kasih untuk semuanya, Mbun.
Date : 21-10-2010
Time : 00:16:03
Sent : 08569792XXXX
Sampai tengah malam itu mataku basah. Aku menangis. Kehilangan itu memang selalu menyesakkan. Tapi Tuhan selalu punya rahasia dibalik semua peristiwa yang terjadi di hidupku. Aku percaya, Tuhan sudah mengaturnya dengan sangat rapi.
Setelah hari itu, aku dan Embun memang jadi jarang bertukar kabar. Jarang bertemu. Tidak ada komunikasi yang intensif antara kami berdua. Aku berkonsentrasi pada kegiatanku dan hidupku. Begitu juga dengan dia. Mungkin keadaan itu membuatnya jauh lebih tenang. Jauh dari kegalauan yang disebabkan olehku. Dia bebas sebebas-bebasnya tanpa harus memikirkan aku.
Pernah sore hari di depan kampus tempat mahasiswa jajan-jajan atau mengobrol saja, aku bertemu Embun dan seorang temannya. Langsung saja aku panggil namanya, “Embun!!!” masih dalam keadaan wajah tertutup masker aku membuatnya merasa bingung karena tidak mengenali aku. Lalu aku buka masker yang aku kenakan, lantas ia mengenali aku dengan sangat baik. “Hai, mau ke mana? Sudah mau pulang?” Tanya Embun padaku sambil mengenalkan aku pada temannya. Dan ternyata memang beda. Kami tak lagi sama seperti dulu. Ada sesuatu yang harus dibatasi. Dan geliat tubuh kami pun sungguh bergerak otomatis untuk memberi batas itu.
Tapi aku tidak memungkiri kalau terkadang aku mengingatnya bahkan merindukannya. Mungkin karena semua orang sering kali sulit menerima kehilangan. Bukan berarti aku mengkhianati kekasihku kini, bukan. Perasaan kehilangan ini lebih pada kehilangan sosok kakak yang sudah lama bersama, tapi tiba-tiba pergi begitu saja. Embun entah ada di mana, aku tidak tahu sama sekali. Jangankan untuk mengetahui ia sedang apa, untuk mengetahui kabarnya saja sudah sulit rasanya. Mungkin ia terlalu kecewa maka ia bersembunyi untuk memulihkannya.
Tidak adil rasanya bagi Embun. Semua temanku pun berkomentar seperti itu. Tidak adil karena Embun sudah lama mendekatiku tapi aku malah memilih orang lain yang memiliki hatiku. Aku memang sungguh-sungguh tersiksa dengan keadaan saat itu dan mendengar komentar-komentar seperti itu. Tapi aku lebih tersiksa lagi kalau aku membuang kesempatan bersama dengan lelaki yang menjadi pilihanku, yaitu kekasihku. Aku tahu, kedengaran dan kelihatannya memang sangat egois. Memilih adalah bagian dari hidup manusia. Dan aku sedang dalam proses hidup itu. Aku memilih, mengorbankan, dan harus menjalankan apa yang sudah menjadi pilihan. Aku bersama kekasih hatiku dan tanpa Embun lagi di dalam hari-hariku.
Pilihan itu bukan berarti aku membuang semua kenangan bersama Embun dari hidupku. Aku akan tetap mendoakan yang terbaik untuknya. Karena aku yakin Embun juga akan selalu mendoakanku. Saat ini, dalam waktu dekat ini aku menunggu kabar bahagianya. Menanti cerita-ceritanya. Menanti kabar saat skripsinya selesai ia tulis. Kemudian ia memakai toga dalam acara wisuda. Aku selalu menunggu dan menanti semuanya. Karena akulah semangatnya saat ia melewati masa kepenatan dalam menulis skripsi. Semoga di suatu pagi aku mendapat angin sejuk yang membawa kabar bahagia itu atau bahkan kabar itu langsung aku dapati darinya, Embun pagi, siang, sore, dan malamku.


*Pernah diposkan sekitar tiga tahun lalu di akun pribadi kompasiana. Karena ini fiksi, semoga ga akan basi.. Selamat menikmati ;)

Comments

Popular posts from this blog

Kesunyian Diam

Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono Entah akan sampai kapan, bahkan kini sudah tiba di bulan Juni Perempuan itu terus berunding dengan perasaannya sendiri Masih tawar-menawar takdir yang mungkin masih berstatus nasib Ia terus mengirim pesan dan meninggalkan beberapa panggilan padamu Sementara jauh di sana kamu hanya berupa sepi Tak jarang perempuan itu menghaturkan doa Pikirnya, itu cara merengkuhmu dari jauh Namun justru semakin menjebaknya dalam lengang Hingga saat ini ia masih tetap memendam dalam Apa tak jua kamu rasa ia berharap? Perempuan itu meratap, harap-harap cemas Wajahnya murung lebih gelap dari mendung Menunggu, menjaga, menanti balasan darimu Hatinya terlunta, tapi lidahnya kelu Namun, ia tak juga mampu untuk satu hal itu "Aku mencintaimu", kalimat yang hanya mampu berkecamuk dalam hatinya Ketika sampai di kerongkongan, yang keluar hanya parau Tak pelak, kalimat itu berubah menjadi tangis Memecah kesunyian di dini hari yang abadi. ...

Tidak Mau(nya) Tidak

Da hulu kamu, kini (masih) kamu Harusnya kenangan masa lalu itu membatu Harusnya kamu hanya sebutir debu yang tinggal disapu Harusnya seperti itu, mauku!!! Namun keadaan nyata memaksa untu k mau tidak mau Sehingga peristiwa berulang beberapa kali waktu Beberapa kali kamu hilang Beberapa kali kamu datang Beberapa kali kamu terbang Beberapa kali kamu pulang Beberapa kali berulang tanpa diundang Meski dalam logika kumenolak, kepada perasaanku kian mendesa k Bagaimana lagi caraku untuk mengelak??? Sedang di sepanjang jalan yang telah k ita lalui, terlalu banyak jejak kita berserak Tidak namun iya, kenyataannya kamu (masih) menang telak!!! *bukan hanya soal mau-tidak mau, logika-perasaan, menang-kalah, dll.. Ini soal.. hmm...   Selamat berkarya apa pun rasanya!!! hihihi ;p Depok, tengah pagi 06 June 2013 | 02:27 re-write dari akun kompasiana.dewantinurcahyani.com :)

HIVI - Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi

"Bila kau jatuh cinta, katakanlah, jangan buang sia-sia..."