Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Petang Selanjutnya Tidak Pernah Datang

Petang itu semua seakan berhenti dan seakan-akan memang dipaksa untuk berhenti aku kehilangan dirinya, jangankan wujud nyatanya, sekelebat bayangnya pun tidak ku temukan biasanya ia muncul pada petang tanpa diundang lewat sebuah pesan dengan senyum dan sapa khas, hanya ia yang punya kami biasa membuat janji di sebuah tempat yang banyak orang lalu lalang, tempat pedagang menjajakan dagangannya, tempat muda mudi bercengkrama sembari melepas tawa pada sebuah petang dan selalu begitu pada beberapa petang selanjutnya tapi petang itu, menjadi petang teakhir kami menghabiskan waktu seakan semua yang lalu tidak pernah ada kami beku, kaku.. kolam ikan dan pohon jambu jadi saksi bisu kami tidak bisa bicara seleluasa biasanya hati rasanya ngilu setelah itu, petang selanjutnya ia tidak pernah datang menemuiku. 27 July 2011 | 17:03 re-write dari akun kompasiana.dewantinurcahyani.com

Tidak Mau(nya) Tidak

Da hulu kamu, kini (masih) kamu Harusnya kenangan masa lalu itu membatu Harusnya kamu hanya sebutir debu yang tinggal disapu Harusnya seperti itu, mauku!!! Namun keadaan nyata memaksa untu k mau tidak mau Sehingga peristiwa berulang beberapa kali waktu Beberapa kali kamu hilang Beberapa kali kamu datang Beberapa kali kamu terbang Beberapa kali kamu pulang Beberapa kali berulang tanpa diundang Meski dalam logika kumenolak, kepada perasaanku kian mendesa k Bagaimana lagi caraku untuk mengelak??? Sedang di sepanjang jalan yang telah k ita lalui, terlalu banyak jejak kita berserak Tidak namun iya, kenyataannya kamu (masih) menang telak!!! *bukan hanya soal mau-tidak mau, logika-perasaan, menang-kalah, dll.. Ini soal.. hmm...   Selamat berkarya apa pun rasanya!!! hihihi ;p Depok, tengah pagi 06 June 2013 | 02:27 re-write dari akun kompasiana.dewantinurcahyani.com :)

Cinta Dalam Cerita

Sejak aku mengenalmu, seperti bijih besi bertemu magnet, aku selalu tertarik jika ada kamu entah siapa yang kutub utara dan kutub selatan, itu tidak terlalu penting yang paling penting adalah kebersamaan kita Kamu memberi sesuatu yang berarti, memberi sesuatu yang baru, dan memberi warna kehidupan yang beraneka dalam hidupku tidak hanya itu, kamu memberi kasih, sayang, dan cinta sampai-sampai mengubah pandanganku tentang laki-laki tidak semua laki-laki itu sama, misalnya..kamu Kamu pintar, riang, dan menyenangkan selalu bisa menjawab apa yang aku tanyakan bertanya, menjawab, meminta, memberi, itulah kita oh..sebenarnya terlalu indah hubungan ini “Kamu memang tidak tahu.. aku selalu bercerita pada semua orang tentangmu, seorang laki-laki baik hati yang penuh dengan kasih dan cinta dalam kisah beberapa waktu lalu yang tidak pernah menyisakan kelam, sedikitpun…”   30 July 2011 | 21:23 rewrite dari akun http://www.kompasiana.com/kompasiana.dewant

Maaf(kan), Aku atau Mereka?

Lagi, untuk kesekian juta kali aku mengucap maaf untuk kesalahan yang dulu, belum lama kemarin, beberapa bulan lalu, satu minggu yang lalu, hari ini, dan juga untuk kesalahan esok yang belum direncanakan tapi sebenarnya, perlukah aku mengatakannya lagi, berulang-ulang dengan tidak berhenti meminta maaf tetapi aku juga tidak berhenti menyakitimu “ Kamu tidak salah “, setiap kali aku meminta maaf, tapi tiap kali itu pula kamu terluka.. kalau hatiku batu, tentu saja aku akan bilang “ Aku memang tidak bersalah, kamu saja terlalu lemah “ aku sebenarnya lelah, katanya salah, maka minta maaf, bersalah lagi, lalu minta maaf lagi karena bukan berarti aku tidak pernah terluka dalam kisah kita yang belum pernah ada awal dan sudah tentu belum ada akhirnya ini.. kalau aku dan kamu saja tidak ada yang tahu pasti, siapa yang sebenarnya benar-benar bersalah dan siapa yang benar-benar terluka mengapa mereka di luar sana sudah beraninya menghakimi aku, bukankah mereka yang harusnya meminta

Kesunyian Diam

Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono Entah akan sampai kapan, bahkan kini sudah tiba di bulan Juni Perempuan itu terus berunding dengan perasaannya sendiri Masih tawar-menawar takdir yang mungkin masih berstatus nasib Ia terus mengirim pesan dan meninggalkan beberapa panggilan padamu Sementara jauh di sana kamu hanya berupa sepi Tak jarang perempuan itu menghaturkan doa Pikirnya, itu cara merengkuhmu dari jauh Namun justru semakin menjebaknya dalam lengang Hingga saat ini ia masih tetap memendam dalam Apa tak jua kamu rasa ia berharap? Perempuan itu meratap, harap-harap cemas Wajahnya murung lebih gelap dari mendung Menunggu, menjaga, menanti balasan darimu Hatinya terlunta, tapi lidahnya kelu Namun, ia tak juga mampu untuk satu hal itu "Aku mencintaimu", kalimat yang hanya mampu berkecamuk dalam hatinya Ketika sampai di kerongkongan, yang keluar hanya parau Tak pelak, kalimat itu berubah menjadi tangis Memecah kesunyian di dini hari yang abadi.

Secangkir Kopi Air Mata

Mendung menggelayut pasrah Diiringi gemuruh yang berderu bagai amarah Ada ia yang terduduk pasrah di sudut kedai temaram Mengaduk secangkir kopi yang diseduh hanya setengah Asap yang mengepul di atasnya bagai rindu yang tak sudah Aroma yang mengudara bagai gelisah yang semakin meresah Lalu ruangan itu semakin temaram dan pandangannya semakin buram Di langit, mendung yang menggelayut perlahan terlepas dari pegangannya Mulai menjadi rintik yang jatuh satu-satu ke jalanan di luar jendela Selama itu, ternyata yang datang hanya hujan Saat yang sama di dalam sana, ada yang mengalir di sudut matanya Jatuh ke dalam cangkir kopinya Berurai, buyar, penuh, lalu tumpah

Kita Jeda Hingga Waktunya

Pernah di sebuah bangku taman kita duduk berdampingan sembari memandangi lapang rerumputan dan luwesnya air pancuran. Sore itu aku yang mengajakmu ke taman. Aku bilang, “Ajak aku ke suatu tempat. Ada yang ingin aku bicarakan.” Lalu kamu bilang, “Terserah kamu mau ke mana, ke ujung dunia aku antarkan.” Aku hanya berdebar, tetapi tak kuasa berkomentar. Lalu terjadi perbincangan antara kita yang entah. Aku ingin segera menyelesaikannya dan cepat-cepat kembali ke rumah. Aku tak ingin menangis di depanmu, lagi. Aku juga tak ingin melihatmu menangis di depanku, pertama kali. Bukan tangis separuh-separuh yang kita butuh, bukan pula genangan air mata. Yang kita butuh adalah jeda. Sungguh aku telah sampai di puncak kelelahan. Kamulah yang aku pikir tepat untuk aku keluhkan. Meski aku tahu kamu tidak suka pengeluh, tetapi aku butuh mengeluh. Dan ternyata, tetap hanya aku yang menangis, terisak-isak sampai sesak. Sementara kamu masih saja diam dan terus memendam. Perbincangan uta

Sejuk Embun Takkan Habis

Embun laki-laki yang kukenal sekitar beberapa tahun lalu. Tepatnya saat aku masih belum lama menjadi mahasiswa di kampus tercintaku ini. Kami berkenalan di sebuah organisasi, di mana ia adalah senior dan aku adalah junior. Perkenalan kami sangat menyenangkan, karena sikap dia yang begitu ramah dan bersahabat. Lambat laun hubungan pertemanan kami pun semakin baik. Kami sering kali mengobrol melalui pesan singkat, telepon, atau melalui jejaring sosial yang sedang ramai digandrungi semua khalayak. Tidak hanya itu, Embun sering mengajakku jalan untuk sekadar melepas penat dari rutinitasnya menulis skripsi. Kami pergi makan, nonton film, atau melihat pameran buku juga lukisan. Kedekatan kami saat aku masih dalam status single sangatlah dekat, bagai perangko yang dilekatkan pada sebuah amplop. Embun tidak pernah absen sms, hampir tiap malam dia menelepon, kalau bisa tiap hari kami bertemu untuk makan siang, kami pasti akan bertemu. Katanya, sebab aku adalah semangat bagin

Jangan Bawa Apa-Apa, Ya!

Yang beda dari kemarin adalah kita baru saja kedatangan tamu, Januari yang baru tiba. Apa yang dibawanya untuk kita? Apakah kau tahu? Apakah sama yang ia bawa untukku dan juga kau? Seingatku bertahun-tahun ia bertamu   Ia selalu membawa bawaan yang sama kepadaku, kenangan. *sebelum Januari pergi, kembali

Semoga Hanya Malam Ini

Malam ini berteman bulan dan bintang di bawah langit yang sedikit terang sedikit gelap itu sudah lebih dari cukup. Meski ada keramaian di sudut sebelah kanan dalam rumahku, tetapi tetap saja sepi masih senang menyudutkanku Malam hampir selalu sama seperti malam-malam sebelumnya, hanya rasa yg membuatnya berbeda *karena re-write dari notes FB, jadi isinya tentang malam diposnya sore-sore, mihihi.. ;p

Kita Saling Sepakat

Kita saling sepakat, benar. Kamu pernah bilang “Berjalan memang tak harus selalu beriringan”   Kalau begitu aku tambahkan, “Jangan pernah juga kita berjalan pada arah yang berlawanan”, s ebab bumi ini bulat.

Kupahat di Langit Semesta

Aku ingin menulis sesuatu yang tak ingin kau baca Aku ingin bercerita kisah yang tak ingin kau tahu Aku ingin menyanyi lagu yang tak mau kau dengar Aku ingin mengungkap rasa yang tak mungkin bisa kau beri asa… Jika nanti aku tak ada, yang bersisa hanya itu Serta cinta rahasia yang hanya dapat kupahat di langit-langit semesta