Skip to main content

Kita Jeda Hingga Waktunya



Pernah di sebuah bangku taman kita duduk berdampingan sembari memandangi lapang rerumputan dan luwesnya air pancuran. Sore itu aku yang mengajakmu ke taman. Aku bilang, “Ajak aku ke suatu tempat. Ada yang ingin aku bicarakan.” Lalu kamu bilang, “Terserah kamu mau ke mana, ke ujung dunia aku antarkan.” Aku hanya berdebar, tetapi tak kuasa berkomentar.

Lalu terjadi perbincangan antara kita yang entah. Aku ingin segera menyelesaikannya dan cepat-cepat kembali ke rumah. Aku tak ingin menangis di depanmu, lagi. Aku juga tak ingin melihatmu menangis di depanku, pertama kali. Bukan tangis separuh-separuh yang kita butuh, bukan pula genangan air mata. Yang kita butuh adalah jeda.

Sungguh aku telah sampai di puncak kelelahan. Kamulah yang aku pikir tepat untuk aku keluhkan. Meski aku tahu kamu tidak suka pengeluh, tetapi aku butuh mengeluh. Dan ternyata, tetap hanya aku yang menangis, terisak-isak sampai sesak. Sementara kamu masih saja diam dan terus memendam.

Perbincangan utama kita usai, meski sesekali kita masih lanjutkan. Namun, sepertinya kata-kata yang terlontar tak sepenuhnya sampai. Lebih sering terdengar hampir berbisik karena terembus angin sore itu. Kemudian kita beranjak dari sana. Berjalan beriringan meski tak lagi bergandengan. Bunga-bunga taman di sekitar kita sesekali menyuarakan tawa sambil berbisik-bisik kepada bunga yang lain, “Ada yang mereka lupa.”

Ya, ternyata kita lupa, semesta menyaksikannya. Kita lupa bilang untuk tidak mengabadikan potret kita pada sore akhir tahun itu.

Comments

Popular posts from this blog

Petang Selanjutnya Tidak Pernah Datang

Petang itu semua seakan berhenti dan seakan-akan memang dipaksa untuk berhenti aku kehilangan dirinya, jangankan wujud nyatanya, sekelebat bayangnya pun tidak ku temukan biasanya ia muncul pada petang tanpa diundang lewat sebuah pesan dengan senyum dan sapa khas, hanya ia yang punya kami biasa membuat janji di sebuah tempat yang banyak orang lalu lalang, tempat pedagang menjajakan dagangannya, tempat muda mudi bercengkrama sembari melepas tawa pada sebuah petang dan selalu begitu pada beberapa petang selanjutnya tapi petang itu, menjadi petang teakhir kami menghabiskan waktu seakan semua yang lalu tidak pernah ada kami beku, kaku.. kolam ikan dan pohon jambu jadi saksi bisu kami tidak bisa bicara seleluasa biasanya hati rasanya ngilu setelah itu, petang selanjutnya ia tidak pernah datang menemuiku. 27 July 2011 | 17:03 re-write dari akun kompasiana.dewantinurcahyani.com

Kesunyian Diam

Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono Entah akan sampai kapan, bahkan kini sudah tiba di bulan Juni Perempuan itu terus berunding dengan perasaannya sendiri Masih tawar-menawar takdir yang mungkin masih berstatus nasib Ia terus mengirim pesan dan meninggalkan beberapa panggilan padamu Sementara jauh di sana kamu hanya berupa sepi Tak jarang perempuan itu menghaturkan doa Pikirnya, itu cara merengkuhmu dari jauh Namun justru semakin menjebaknya dalam lengang Hingga saat ini ia masih tetap memendam dalam Apa tak jua kamu rasa ia berharap? Perempuan itu meratap, harap-harap cemas Wajahnya murung lebih gelap dari mendung Menunggu, menjaga, menanti balasan darimu Hatinya terlunta, tapi lidahnya kelu Namun, ia tak juga mampu untuk satu hal itu "Aku mencintaimu", kalimat yang hanya mampu berkecamuk dalam hatinya Ketika sampai di kerongkongan, yang keluar hanya parau Tak pelak, kalimat itu berubah menjadi tangis Memecah kesunyian di dini hari yang abadi. ...